Senin, 27 Februari 2017

ASAL-USUL NAMA DESA WEDUNG KABUPATEN DEMAK



ASAL-USUL NAMA DESA WEDUNG KABUPATEN DEMAK

A.    Deskripsi
Berdasarkan wawancara saya dengan Bapak Sunarto selaku sesepuh (tokoh masyarakat) setempat asal-usul sejarah berdirinya desa wedung tidak juga terlepas dalam masa pambangunan Masjid Agung Demak membutuhkan 4 buah tiang jati (Soko) yang awalnya semua adalah dari Muria Kudus yang dibawa dari Kudus melalui jalur laut mengunakan getek, getek pembawa kayu jati dari hutan Muria terdampar di Kepulauan Gajah-Oyo karena ombak besar. Setelah diteliti, ternyata hanya tersisa 3 dari 4 gelondong tiang jati (soko). Saat para pekerja ingin memperbaiki geteknya, “wadungnya” tidak ada, diperkirakan jatuh tercebur di perairan Kepulauan Gajah-Oyo. Kemudian mereka berinisiatif membuat jaring untuk “ngrikit” (dari tali-temali yang ada, yang berbentuk jaring seret yang ditarik bersama menelusuri (ngrikiti) gugusan-gugusan tepi pulau) guna menjaring satu gelondong dan wadung yang hilang. Namun, apa yang dicari tak kunjung ditemukan meski sudah “digribig” (dijaring secara merata). Akhirnya, gethek berhenti di desa ujung-timur bagian selatan yang kemudian dinamakan Desa Gribigan. Dan rakyatnya, kaum nelayan, menggunakan jaring krikit, yang ditarik bersama menyusuri pantai sampai dengan
lahirnya jaring trol atau jaring pukat harimau. Kemudian tempat ini disebut Kepulauan Wadung. Seiring perkembangan masyarakat dan masing-masing pulau menjadi pedesaan, Kepulauan Wadung menjadi Pedesaan Wedung, dan akhirnya menjadi Desa Wedung.
Nelayan wedung
Kemudian getek pembawa kayu jati untuk tiang Masjid Agung Demak tersebut melanjutkan perjalanannya dengan hanya membawa 3 tiang. Saat pembangunan dimulai, dengan terpaksa Sunan Kalijaga menyusun satu soko dari beberapa potongan kayu yang dirakit dengan tali yang disebut soko tatal.
Kepulauan Gayah-Oyo (Wedung) Dalam Legenda
Sejak abad ketujuh di kepulaun muria , di ujung baratnya telah berdiri suatu kerajaan dengan penguasanya Ratu shima di keling kerajaan kalinga. Dan daerah perbatasannya adalah kepulauan Gajah-oyo. Dan pada waktu itu telah hadir berkunjung rombongan musafir dari arab yang kemudian berhasil menarik ratu shima dan dengan keluarga untuk memeluk Islam. Setelah rakyat dan para pemimpin hindu mengetahui bahwa ratu shima telah memeluk Islam, maka mereka memberontak dan kerajaan kalingga dihancurkan. Kemudian kerajaan kalingga dipindahkan ke jawa barat dan berganti nama menjadi kerajaan medang kamulan dengan rajanya putera ratu shima bernama shinna. Dan demikian juga tidak lama setelah rakyat Medang kamulan mengetahui bahwa raja dan punggowonya adalah muslim maka mereka juga memberontak dan menghancurkan kerajaan medang kamulan. Selanjutnya dinasti shima dengan rajanya shinna mendirikan kerajaan medang kamulan kedua yang didirikan di purwodadi. Dan kepulauan gajah-oyo merupakan suatu selat perbatasan antara jepara (kerajaan kalingga), Demak, Pati, Juana, Rembang, Lasem, dan Purwodadi. Kepulaun Muria selain memiliki gunung muria juga memiliki gunung pati ayam yang hutannya banyak dihuni gajah-gajah besar dan pada zaman itu kebanyakan penduduk kepulauan muria adalah beragama hindu. Sehingga pada zaman itu mereka sangat bangga dengan lambang gajah dan ingin menamakan daerah yang baru yang menjadi kebanggaam mereka dengan nama gajah. Dari sinilah nama gajah-oyo terbentuk yaitu daerah yang berpencar antara demak, kudus, dan jepara.
Pada awal abad Masehi (sekitar abad keempat Masehi) Hinduisme sudah masuk ke Kepulauan Nusantara Indonesia di sebuah kerajaan di Kalimantan Timur dengan rajanya yaitu Mulawarman. Berlanjut dengan Kerajaan Tarumanegara dengan rajanya yaitu Purnawarman yang tertuang dalam Prasasti Batu Tulis.Pada masa tersebut terdapat Pertapa Begawan Abiyoso yang bertapa di Puncak Songolikur di bukit Gunung Muria dan memiliki seorang puteri yang memiliki kelainan. Puteri tersebut sangat cantik namun keringatnya berbau amis. Akibatnya puteri tersebut selalu saja gagal dilamar oleh kesatria. Akhirnya puteri tersebut diasingkan di suatu pulau kecil, yaitu di sebelah utara Kepulauan Gajah-Oyo yang akhirnya dinamakan Berahan. Pada awal abad ketiga belas (1230 M), suatu bangunan unik dibangun di Wedung, yaitu suatu bangunan Balai Romo dengan luas 10×20 m3 tanpa dinding dan pagar. Bangunan tersebut adalah bangunan terbuka dengan empat pintu penjuru di timur, barat, selatan, dan utara. Dalam legenda cerita lisan dinyatakan bahwa bangunan itu dibangun oleh Raja Kediri yang mengharapkan bangunan itu sebagai tempat persinggahan.
Pada akhir abad ketiga belas Masehi, hadir serombongan mubaligh yang dipimpin oleh Maulana Malik Ibrahim Almaghriby (berarti Al-Syaik dari Maroko, yang bermadzhab maliki). Pada awal abad kelima belas Masehi (tahun 1414 M), armada Laksamana Haji Muhammad Cheng Ho (Sam Poo Tai Jin) mengadakan kunjungan muhibbah kepada Raja Brawijaya, Kerajaan Majapahit. Armadanya berjumlah kurang lebih 80 Kapal Jung yang mayoritas angkatannya adalah muslimin yang bermadzhah Hanafiyah. Sebelum sampai di pelabuhan Semarang, armada tersebut singgah di kepulauan Gajah Oyo dan berlabuh di Pantai Selatan Kepulauan Muria, tepatnya di Welahan.
Tahun 1414 M itu juga, Armada Laksamana H. Muhammad Ceng Hoo singgah di Palembang, Laut Bangka-Bagan Siapi-api sebelum menuju Semarang. Armadanya menemukan kapal-kapal perompak Cina atau bajak laut dari Cina yang mengganggu keamanan di Lautan Jawa dan kemudian dikejar oleh Armada H. M. Cheng Ho, terus dikejar hingga armada tersebut masuk ke perairan Gajah Oyo. Begitu singgah di pantai jepara arah timur, yaitu Welahan, kapal perompak tersebut dapat dihancurkan dan tenggelam di perairan Kepulauan Gajah-Oyo, ternyata tahun 1947.
Di awal abad ke-16 (1505-1515) diceritakan: datang Dewa Srani dengan armada lautnya di perairan Kepulauan Gajahoyo, dari Atasangin, dan kejar-kejaran dengan Raja Kalimantoro. Beberapa kapal Dewa Srani tenggelam di perairan sekitar kepulauan tersebut. Sisanya meneruskan pelayaran ke Timur.
“Dewa Srani” adalah armada kapal-kapal yang berbendera salib (palang-pantek-merah), armada Portugis dan Spanyol yang memburu kaum Moro (kaum Muslim Spanyol) sampai di Kepulauan Mindanao, Philipina Selatan. Akhirnya kaum Moro mendarat di Mindanao dan masuk hutan-hutan, dan kemudian akhirnya menjadi warga negara Philipina sampai sekarang.

Oleh : M. Zakki M.S.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar