ASAL-USUL NAMA DESA WEDUNG KABUPATEN
DEMAK
Email : mzakkimunabbih05s@gmail.com
A. Deskripsi
Berdasarkan wawancara saya dengan Bapak Sunarto selaku sesepuh (tokoh masyarakat)
setempat asal-usul sejarah berdirinya desa wedung tidak juga terlepas dalam
masa pambangunan Masjid Agung Demak membutuhkan 4 buah tiang jati (Soko) yang
awalnya semua adalah dari Muria Kudus yang dibawa dari Kudus melalui jalur laut
mengunakan getek, getek pembawa kayu jati dari hutan Muria terdampar di
Kepulauan Gajah-Oyo karena ombak besar. Setelah diteliti, ternyata hanya
tersisa 3 dari 4 gelondong tiang jati (soko). Saat para pekerja ingin
memperbaiki geteknya, “wadungnya” tidak ada, diperkirakan jatuh tercebur di
perairan Kepulauan Gajah-Oyo. Kemudian mereka berinisiatif membuat jaring untuk
“ngrikit” (dari tali-temali yang ada, yang berbentuk jaring seret yang ditarik
bersama menelusuri (ngrikiti) gugusan-gugusan tepi pulau) guna menjaring satu
gelondong dan wadung yang hilang. Namun, apa yang dicari tak kunjung ditemukan
meski sudah “digribig” (dijaring secara merata). Akhirnya, gethek berhenti di
desa ujung-timur bagian selatan yang kemudian dinamakan Desa Gribigan. Dan
rakyatnya, kaum nelayan, menggunakan jaring krikit, yang ditarik bersama
menyusuri pantai sampai dengan
lahirnya jaring trol atau jaring pukat harimau. Kemudian tempat ini disebut Kepulauan Wadung. Seiring perkembangan masyarakat dan masing-masing pulau menjadi pedesaan, Kepulauan Wadung menjadi Pedesaan Wedung, dan akhirnya menjadi Desa Wedung.
lahirnya jaring trol atau jaring pukat harimau. Kemudian tempat ini disebut Kepulauan Wadung. Seiring perkembangan masyarakat dan masing-masing pulau menjadi pedesaan, Kepulauan Wadung menjadi Pedesaan Wedung, dan akhirnya menjadi Desa Wedung.
Nelayan wedung
Kemudian getek pembawa kayu jati untuk tiang Masjid Agung Demak tersebut
melanjutkan perjalanannya dengan hanya membawa 3 tiang. Saat pembangunan
dimulai, dengan terpaksa Sunan Kalijaga menyusun satu soko dari beberapa
potongan kayu yang dirakit dengan tali yang disebut soko tatal.
Kepulauan
Gayah-Oyo (Wedung) Dalam Legenda
Sejak abad ketujuh di kepulaun muria , di ujung baratnya telah berdiri
suatu kerajaan dengan penguasanya Ratu shima di keling kerajaan kalinga. Dan
daerah perbatasannya adalah kepulauan Gajah-oyo. Dan pada waktu itu telah hadir
berkunjung rombongan musafir dari arab yang kemudian berhasil menarik ratu
shima dan dengan keluarga untuk memeluk Islam. Setelah rakyat dan para pemimpin
hindu mengetahui bahwa ratu shima telah memeluk Islam, maka mereka memberontak
dan kerajaan kalingga dihancurkan. Kemudian kerajaan kalingga dipindahkan ke
jawa barat dan berganti nama menjadi kerajaan medang kamulan dengan rajanya
putera ratu shima bernama shinna. Dan demikian juga tidak lama setelah rakyat
Medang kamulan mengetahui bahwa raja dan punggowonya adalah muslim maka mereka
juga memberontak dan menghancurkan kerajaan medang kamulan. Selanjutnya dinasti
shima dengan rajanya shinna mendirikan kerajaan medang kamulan kedua yang
didirikan di purwodadi. Dan kepulauan gajah-oyo merupakan suatu selat
perbatasan antara jepara (kerajaan kalingga), Demak, Pati, Juana, Rembang, Lasem,
dan Purwodadi. Kepulaun Muria selain memiliki gunung muria juga memiliki gunung
pati ayam yang hutannya banyak dihuni gajah-gajah besar dan pada zaman itu
kebanyakan penduduk kepulauan muria adalah beragama hindu. Sehingga pada zaman
itu mereka sangat bangga dengan lambang gajah dan ingin menamakan daerah yang
baru yang menjadi kebanggaam mereka dengan nama gajah. Dari sinilah nama
gajah-oyo terbentuk yaitu daerah yang berpencar antara demak, kudus, dan jepara.
Pada awal abad Masehi (sekitar abad keempat Masehi) Hinduisme sudah masuk ke Kepulauan Nusantara Indonesia di sebuah kerajaan di Kalimantan Timur dengan rajanya yaitu Mulawarman. Berlanjut dengan Kerajaan Tarumanegara dengan rajanya yaitu Purnawarman yang tertuang dalam Prasasti Batu Tulis.Pada masa tersebut terdapat Pertapa Begawan Abiyoso yang bertapa di Puncak Songolikur di bukit Gunung Muria dan memiliki seorang puteri yang memiliki kelainan. Puteri tersebut sangat cantik namun keringatnya berbau amis. Akibatnya puteri tersebut selalu saja gagal dilamar oleh kesatria. Akhirnya puteri tersebut diasingkan di suatu pulau kecil, yaitu di sebelah utara Kepulauan Gajah-Oyo yang akhirnya dinamakan Berahan. Pada awal abad ketiga belas (1230 M), suatu bangunan unik dibangun di Wedung, yaitu suatu bangunan Balai Romo dengan luas 10×20 m3 tanpa dinding dan pagar. Bangunan tersebut adalah bangunan terbuka dengan empat pintu penjuru di timur, barat, selatan, dan utara. Dalam legenda cerita lisan dinyatakan bahwa bangunan itu dibangun oleh Raja Kediri yang mengharapkan bangunan itu sebagai tempat persinggahan.
Pada akhir abad ketiga belas Masehi, hadir serombongan mubaligh yang dipimpin oleh Maulana Malik Ibrahim Almaghriby (berarti Al-Syaik dari Maroko, yang bermadzhab maliki). Pada awal abad kelima belas Masehi (tahun 1414 M), armada Laksamana Haji Muhammad Cheng Ho (Sam Poo Tai Jin) mengadakan kunjungan muhibbah kepada Raja Brawijaya, Kerajaan Majapahit. Armadanya berjumlah kurang lebih 80 Kapal Jung yang mayoritas angkatannya adalah muslimin yang bermadzhah Hanafiyah. Sebelum sampai di pelabuhan Semarang, armada tersebut singgah di kepulauan Gajah Oyo dan berlabuh di Pantai Selatan Kepulauan Muria, tepatnya di Welahan.
Pada awal abad Masehi (sekitar abad keempat Masehi) Hinduisme sudah masuk ke Kepulauan Nusantara Indonesia di sebuah kerajaan di Kalimantan Timur dengan rajanya yaitu Mulawarman. Berlanjut dengan Kerajaan Tarumanegara dengan rajanya yaitu Purnawarman yang tertuang dalam Prasasti Batu Tulis.Pada masa tersebut terdapat Pertapa Begawan Abiyoso yang bertapa di Puncak Songolikur di bukit Gunung Muria dan memiliki seorang puteri yang memiliki kelainan. Puteri tersebut sangat cantik namun keringatnya berbau amis. Akibatnya puteri tersebut selalu saja gagal dilamar oleh kesatria. Akhirnya puteri tersebut diasingkan di suatu pulau kecil, yaitu di sebelah utara Kepulauan Gajah-Oyo yang akhirnya dinamakan Berahan. Pada awal abad ketiga belas (1230 M), suatu bangunan unik dibangun di Wedung, yaitu suatu bangunan Balai Romo dengan luas 10×20 m3 tanpa dinding dan pagar. Bangunan tersebut adalah bangunan terbuka dengan empat pintu penjuru di timur, barat, selatan, dan utara. Dalam legenda cerita lisan dinyatakan bahwa bangunan itu dibangun oleh Raja Kediri yang mengharapkan bangunan itu sebagai tempat persinggahan.
Pada akhir abad ketiga belas Masehi, hadir serombongan mubaligh yang dipimpin oleh Maulana Malik Ibrahim Almaghriby (berarti Al-Syaik dari Maroko, yang bermadzhab maliki). Pada awal abad kelima belas Masehi (tahun 1414 M), armada Laksamana Haji Muhammad Cheng Ho (Sam Poo Tai Jin) mengadakan kunjungan muhibbah kepada Raja Brawijaya, Kerajaan Majapahit. Armadanya berjumlah kurang lebih 80 Kapal Jung yang mayoritas angkatannya adalah muslimin yang bermadzhah Hanafiyah. Sebelum sampai di pelabuhan Semarang, armada tersebut singgah di kepulauan Gajah Oyo dan berlabuh di Pantai Selatan Kepulauan Muria, tepatnya di Welahan.
Tahun 1414 M itu juga, Armada Laksamana H. Muhammad Ceng Hoo singgah di
Palembang, Laut Bangka-Bagan Siapi-api sebelum menuju Semarang. Armadanya
menemukan kapal-kapal perompak Cina atau bajak laut dari Cina yang mengganggu
keamanan di Lautan Jawa dan kemudian dikejar oleh Armada H. M. Cheng Ho, terus
dikejar hingga armada tersebut masuk ke perairan Gajah Oyo. Begitu singgah di
pantai jepara arah timur, yaitu Welahan, kapal perompak tersebut dapat
dihancurkan dan tenggelam di perairan Kepulauan Gajah-Oyo, ternyata tahun 1947.
Di awal abad ke-16 (1505-1515) diceritakan: datang Dewa Srani dengan armada lautnya di perairan Kepulauan Gajahoyo, dari Atasangin, dan kejar-kejaran dengan Raja Kalimantoro. Beberapa kapal Dewa Srani tenggelam di perairan sekitar kepulauan tersebut. Sisanya meneruskan pelayaran ke Timur.
Di awal abad ke-16 (1505-1515) diceritakan: datang Dewa Srani dengan armada lautnya di perairan Kepulauan Gajahoyo, dari Atasangin, dan kejar-kejaran dengan Raja Kalimantoro. Beberapa kapal Dewa Srani tenggelam di perairan sekitar kepulauan tersebut. Sisanya meneruskan pelayaran ke Timur.
“Dewa Srani” adalah armada kapal-kapal yang berbendera salib
(palang-pantek-merah), armada Portugis dan Spanyol yang memburu kaum Moro (kaum
Muslim Spanyol) sampai di Kepulauan Mindanao, Philipina Selatan. Akhirnya kaum
Moro mendarat di Mindanao dan masuk hutan-hutan, dan kemudian akhirnya menjadi
warga negara Philipina sampai sekarang.
Oleh : M. Zakki M.S.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar